Menghadap Presiden Prabowo, Ketua Umum Golkar Bahlil Lahadalia Ajukan Soeharto sebagai Pahlawan Nasional

Ketua Umum Partai Golkar Bahlil Lahadalia.(Dok/Golkar)

INTANANEWS.ID – Menghadap Presiden Prabowo Subianto di Istana Kepresidenan pada Senin (3/11/2025), Ketua Umum Partai Golkar Bahlil Lahadalia mengajukan Presiden ke-2 Soeharto sebagai Pahlawan Nasional.

Presiden Prabowo menerima aspirasi Partai Golkar terkait pengajuan Soeharto sebagai Pahlawan Nasional tersebut.

“Saya bilang Bapak Presiden, dengan penuh harapan, lewat mekanisme rapat DPP Partai Golkar kami sudah mengajukan Pak Harto sebagai Pahlawan Nasional,” kata Bahlil usai menghadap presiden.

Ia menyatakan, Soeharto memiliki jasa besar bagi bangsa dan negara. Di antaranyamembangun kedaulatan pangan dan energi, menekan inflasi tinggi, serta membawa Indonesia dikenal sebagai salah satu kekuatan ekonomi di Asia pada masanya.

“Saya pikir sudah sangat layak, pantas, dan sudah saatnya untuk kemudian pemerintah bisa memberikan sebagai gelar Pahlawan Nasional. Itu yang tadi keputusan daripada DPP Partai Golkar,” dia melanjutkan.

Bahlil menambahkan, Partai Golkar juga telah menyampaikan usulan sebagai Pahlawan Nasional kepada Kementerian Sosial.

Sebelumnya, Menteri Sosial Saifullah Yusuf pada Minggu (2/11/2025) mengatakan, keberatan sejumlah pihak terhadap usulan pemberian gelar Pahlawan Nasional kepada Presiden ke-2, Soeharto sudah diterima Kementerian Sosial.

Alasan utama penolakan terhadap Soeharto tersebut berkaitan dengan rekam jejak masa lalunya.

Dia menyatakan, pihaknya sudah bertemu dengan pihak-pihak yang menolak usulan pemberian gelar Pahlawan Nasional kepada Presiden ke-2, Soeharto.

“Masukan dan keberatan yang disampaikan oleh kelompok penolak tetap dipertimbangkan dalam forum tim pengkaji dan peneliti terkait Gelar Pahlawan Nasional,” kata Saifullah Yusuf yang akrab disapa Gus Ipul ini.

SETARA Institute Menolak

Salah satu yang menolak Soeharto menjadi Pahlawan Nasional adalah SETARA Institute.

Ketua Dewan Nasional SETARA Institute, Hendardi dalam pernyataan persnya di Jakarta, Senin (27/10/2025) menyatakan, setelah Prabowo terpilih sebagai Presiden, sebulan sebelum pelantikan sebagai Presiden, Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) secara resmi mencabut nama Soeharto dari Ketetapan (TAP) MPR Nomor XI/MPR/1998 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN).

Pasal 4 TAP MPR 11/1998 tersebut berbunyi: “Upaya pemberantasan korupsi, kolusi, dan nepotisme harus dilakukan secara tegas terhadap siapapun juga, baik pejabat negara, mantan pejabat negara, keluarga, dan kroninya maupun pihak swasta/konglomerat termasuk mantan Presiden Soeharto dengan tetap memperhatikan prinsip praduga tak bersalah dan hak-hak, asasi manusia.”

Ia menjelaskan, sejak awal, pencabutan ini merupakan langkah yang salah karena mengabaikan fakta historis bahwa 32 tahun masa kepemimpinannya penuh dengan pelanggaran HAM, korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan.

“Fakta itulah yang mendorong gerakan Reformasi 1998. Maka, upaya elite politik dan penyelenggara negara untuk sebelumnya mencabut Pasal dalam TAP MPR Nomor XI/1998 yang menyebut Soeharto dan kini mengajukan Soeharto menjadi Pahlawan Nasional nyata-nyata mengalami amnesia politik dan sejarah serta mengkhianati amanat reformasi,” dia mengatakan.

Selain itu, dia menambahkan, jika nantinya Soeharto ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional, hal itu merupakan tindakan melawan hukum, terutama UU Nomor 20 Tahun 2009 tentang Gelar, Tanda Jasa dan Tanda Kehormatan.

“Menurut UU a quo, untuk mendapatkan gelar, tanda jasa, dan tanda kehormatan, seseorang harus memenuhi beberapa syarat,” tuturnya.

Pasal 24 UU dimaksud mengatur syarat umum sebagai berikut:

1) WNI atau seseorang yang berjuang di wilayah yang sekarang menjadi wilayah NKRI
2) Memiliki integritas moral dan keteladanan
3) Berjasa terhadap bangsa dan negara
4) Berkelakuan baik
5) Setia dan tidak mengkhianati bangsa dan negara; dan
6) Tidak pernah dipidana, minimal 5 (lima) tahun penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.

Mengacu pada undang-undang tersebut, Hendardi menyatakan, Soeharto tidak layak mendapatkan gelar pahlawan nasional. Dugaan pelanggaran HAM dan kejahatan terhadap kemanusiaan yang pernah terjadi pada masa pemerintahannya yang otoriter dan militeristik tidak dapat disangkal, meskipun juga tidak pernah diuji melalui proses peradilan.

Namun dalam hal tindak pidana korupsi, Soeharto bertanggungjawab atas tindak pidana korupsi. Mahkamah Agung melalui Putusan No. 140 PK/Pdt/2005 telah menyatakan bahwa Yayasan Supersemar milik Soeharto telah melakukan perbuatan melawan hukum dan wajib membayar uang sebesar US $ 315.002.183 dan Rp 139.438.536.678,56 kepada Pemerintah RI, atau sekitar Rp 4,4 triliun dengan kurs saat itu.

“Soeharto didakwa karena mengeluarkan sejumlah peraturan dan keputusan Presiden yang menguntungkan setidaknya tujuh yayasan yang dipimpin Soeharto dan kemudian dialirkan ke 13 perusahaan afiliasi keluarga serta kroni Cendana,” ia mengungkapkan.

Pendek kata, dia menyatakan bahwa Soeharto sebagai pahlawan nasional adalah tindakan yang salah dan melawan hukum negara. Jika hal itu tetap dilakukan oleh Presiden sebagai Kepala Negara, maka tidak salah anggapan bahwa Presiden Prabowo menerapkan absolutisme kekuasaan, yang dapat disederhanakan dalam ungkapan “Negara adalah aku” atau L’État, c’est moi seperti ungkapan Raja Louis XIV.(nor)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *