Masih Banyak WNI Tergiur ‘Mengadu Nasib’ di Kamboja, Bagaimana di Sulut?

Kedatangan warga negara Indonesia (WNI) Bermasalah di Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) Phnom Penh terkait kasus 58 WNI dari Bavet pada Februari 2025.(Dok/kemlu.go.id)

INTANANEWS.ID – Mengapa masih banyak warga negara Indonesia (WNI) yang berbondong-bondong ‘mencari hidup’ di Kamboja?

Padahal Kamboja hingga kini belum memiliki kerja sama resmi dengan Indonesia yang menjamin keselamatan dan hak-hak pekerja migran asal Indonesia yang bekerja di sana.

Akhirnya dipungkiri atau tidak banyak WNI yang mengadu nasib di Kamboja menjadi korban tindak pidana perdagangan orang (TPPO).

Kabar terakhir menyebutkan pada Rabu (22/10/2025), sedikitnya 75 warga negara Indonesia (WNI) kabur dari pusat online scam di kawasan KK Park, Myawaddy, Kayin State, Myanmar setelah militer Myanmar bersiap menggerebek kawasan tersebut.

Sebanyak 75 WNI itu merupakan bagian dari lebih dari 300 warga negara asing (WNA) yang kabur dari pusat online scam tersebut.

Kompleks KK Park dikenal sebagai salah satu kawasan yang dikelola oleh kelompok Border Guard Force (BGF) dan menjadi lokasi aktivitas scam/judi online.

Pemerintah Indonesia terus berkoordinasi dengan KBRI Pnomh Penh agar tidak ada WNI yang menjadi korban perdagangan orang di Kamboja.

Karena itu, masyarakat diminta untuk tidak mudah tergiur dengan tawaran kerja ke Kamboja karena negara tersebut bukan negara tujuan penempatan Pekerja Migran Indonesia (PMI).

Korban Perdagangan Manusia

Merujuk pada data di Pusiknas Bareskrim Polri (pusiknas.polri.go.id), sepanjang 2025 ini setidaknya ada 404 orang menjadi korban perdagangan manusia. Itu adalah data yang diakses dari situs Pusiknas untuk kurun waktu Januari-15 Juli 2025.

Dari 404 korban itu, mayoritas korban adalah perempuan yakni mencapai 71,03 persen atau 207 orang. Sementara itu, korban laki-laki tercatat sebanyak 96 orang.

“Data ini menunjukkan bahwa perempuan masih menjadi kelompok paling rentan dalam kasus-kasus TPPO,” demikian dikutip dari laman Pusiknas Bareskrim Polri.

Sementara itu, LSM Migrant Watch Asia mencatat, banyak PMI direkrut melalui agen tidak resmi dan dijanjikan pekerjaan di sektor jasa atau teknologi.

Namun kenyataannya, mereka dipaksa bekerja di perusahaan yang menjalankan aktivitas judi online, penipuan daring, bahkan perdagangan manusia. Beberapa korban mengaku disekap, disiksa, dan tidak menerima gaji sebagaimana dijanjikan. Parahnya lagi ternyata negara tidak cukup hanya memulangkan mereka.

Sepanjang Januari-Februari 2025, Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) Phnom Penh telah menangani 841 kasus WNI bermasalah, baik yang walk-in, via hotline, ataupun atas notifikasi aparat Kamboja. Angka rekor ini lebih dari tiga kali lipat dibandingkan periode yang sama tahun lalu.

Sebagian besar kasus – sekitar 75 persen – terkait dengan keterlibatan WNI dalam penipuan daring (online scam). Biasanya para WNI yang bekerja sebagai scammer (penipu) diiming-imingi pekerjaan yang gampang, dengan kualifikasi rendah tetapi bayaran yang fantastis.

Kasus di Sulawesi Utara

Balai Pelayanan Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (BP3MI) Sulawesi Utara (Sulut) mencatat sepanjang tahun 2025 ini pihaknya menerima laporan sedikitnya 45 laporan terkait pemberangkatan warga asal Sulut ke Kamboja.

Karena pengawasan di Bandara Sam Ratulangi Manado sangat ketat maka sekarang banyak warga yang hendak ke Kamboja memilih ke Gorontalo sebagai titik keberangkatan. Dari Gorontalo, mereka ke Jakarta baru kemudian ke Kamboja.

Kepala BP3MI Sulut, Syachrul Afriyadi melalui Pengantar Kerja Ahli Pertama, Jordy Subekti di Manado menyebutkan, jumlah laporan tersebut naik hingga 200 persen jika dibandingkan pada tahun 2024 lalu yang tercatat 15 laporan yang masuk ke BP3MI Sulut.

“Laporan yang masuk tidak hanya untuk satu orang namun juga keberangkatan secara rombongan,” tuturnya.

Jordy menjelaskan, pihaknya selalu berkordinasi dengan BP3MI Pusat. Sehingga warga Sulut yang ingin ke Kamboja melalui Gorontalo berhasil diamankan setibanya di Jakarta.”Kami mencatat tiga laporan terkait hal itu,” tuturnya.

Dia menambahkan, pihaknya selalu meningkatkan kerja sama dengan Polsek Bandara untuk menggagalkan puluhan warga Sulut yang ingin berangkat ke Kamboja di Bandara Sam Ratulangi Manado.

Terkait hal itu, Menteri Koordinator Bidang Pemberdayaan Masyarakat Muhaimin Iskandar menyebutkan, ada lebih dari 100 ribu orang warga negara Indonesia yang bekerja di Kamboja, baik di sektor formal maupun informal.

“Di sana (Kamboja) itu terakhir sekitar 100 ribu orang. Seratus ribu orang itu baik yang bekerja di sektor tertentu maupun yang men-support makanannya, konsumsi hariannya,” kata Menko Muhaimin Iskandar di Jakarta, Senin (27/10/2025).

Ia menyatakan hal itu menanggapi banyaknya pekerja migran Indonesia (PMI) yang bekerja di Kamboja dan berusaha kabur dari negara tersebut.

Pemerintah, dia melanjutkan terus berkoordinasi dengan KBRI Pnomh Penh agar tidak ada WNI yang menjadi korban perdagangan orang di Kamboja.

Ia meminta agar masyarakat tidak mudah tergiur dengan tawaran kerja ke Kamboja karena negara tersebut bukan negara tujuan penempatan PMI.

“Kita terus mengkampanyekan dan menyosialisasikan bahwa Kamboja bukan tempat aman untuk pekerja migran kita,” Muhaimin Iskandar menambahkan.

Cermin Kegagalan Negara

Pakar Sosiologi Universitas Muhammadiyah Surabaya (UM Surabaya) Agus Budiman Pakar menyebutkan minimnya lapangan kerja di dalam negeri menjadi salah satu faktor pendorong PMI untuk mencari pekerjaan ke luar negeri padahal hal itu berisiko terjebak dalam praktik ilegal.

“Kurangnya informasi dan pemahaman tentang risiko pekerjaan di luar negeri juga turut memperburuk situasi ini,” katanya.

Ia menyatakan, fenomena ini bukan soal kriminalitas individu semata, tetapi cermin kegagalan negara dalam menyediakan pekerjaan yang layak bagi rakyatnya.

Menurut dia, banyak warga Indonesia terpaksa merantau dengan risiko tinggi karena kondisi ekonomi yang memaksa.

Budi menilai bahwa ini menjadi bukti lemahnya pengawasan terhadap agen penyalur tenaga kerja sebagai salah satu faktor kunci.

“Ironisnya, kita membiarkan anak-anak bangsa menjadi korban kejahatan transnasional karena tidak ada ruang kerja yang tersedia di tanah air,” ia menyebutkan.

Dia menyerukan agar pemerintah tidak hanya reaktif, tetapi mulai serius berinvestasi pada pengembangan ekonomi lokal, pelatihan vokasi, dan pembukaan sektor industri berbasis kerakyatan.

“Penting bagi pemerintah untuk meningkatkan kualitas pendidikan, pelatihan keterampilan, dan menyediakan lapangan kerja yang layak guna mengurangi ketergantungan pada pekerjaan migran yang berisiko tinggi,” ia menambahkan.

Sekali lagi agar warga negara Indonesia (WNI) untuk lebih waspada terhadap tawaran pekerjaan di luar negeri yang tidak memerlukan skill atau kualifikasi namun menjanjikan gaji yang tinggi. If it’s too good to be true, the IT IS too good to be true. Jangan terlalu mudah percaya ya.(nor)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *