INTANANEWS.ID – Mantan Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) Bambang Soesatyo menyakini bahwa Presiden Prabowo Subianto tidak akan ragu menganugerahkan gelar Pahlawan Nasional terhadap Presiden ke-2 Soeharto.
Alasannya, pemerintah memiliki dasar moral dan historis untuk memberikan gelar pahlawan nasional kepada mantan presiden Soeharto. Selain itu, pencabutan nama Soeharto dari TAP MPR Tahun 1998 telah mengakhiri polemik hukum.
Bambang Soesatyo yang juga politisi Partai Golkar itu menyatakan hal tersebut dalam keterangan tertulisnya pada Jumat (7/11/2025).
“Tidak ada lagi hambatan hukum, politik, maupun administratif bagi negara untuk memberikan gelar pahlawan nasional kepada Soeharto,” katanya.
Bahkan, dia melanjutkan seluruh kriteria dalam Undang-undang Nomor 20 Tahun 2009 tentang Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan juga telah dipenuhi oleh Presiden ke-2 Soeharto.
Ia menyatakan, gelar Pahlawan Nasional merupakan bentuk pengakuan dari negara terhadap pengabdian dan jasa mantan pemimpin.
Bambang Soesatyo lalu menyebut pelbagai kesuksesan semasa Presiden ke-2 Soeharto. Misalnya saja, angka kemiskinan Tanah Air turun dari sekitar 60 persen pada 1970-an menjadi sekitar 11 persen pada 1996 dan ini diakui Bank Dunia.
Lainnya, Soeharto sebagai pelopor pembangunan yang menopang ekonomi hingga kini. Pembangunan Jalan Tol Jagorawi yang diresmikan di masa pemerintahan Soeharto pada 1978 menjadi contoh keberhasilan lainnya.
Muhammadiyah Nyatakan Mendukung
Sebelumnya, Pimpinan Pusat Muhammadiyah menyatakan mendukung Soeharto sebagai Pahlawan Nasional. Alasannya, Soeharto besar jasanya terhadap perjuangan kemerdekaan dan pembangunan bangsa Indonesia.
Dukungan Pimpinan Pusat Muhamadiyah tersebut disampaikan Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah Dadang Kahmad dalam keterangan di Jakarta, Rabu (5/11/2025).
“Soeharto merupakan tokoh penting dalam sejarah Indonesia yang layak memperoleh penghargaan atas pengabdian dan kontribusinya selama masa perjuangan maupun kepemimpinan nasional. Karena itu kami mendukung Bapak Soeharto sebagai pahlawan nasional,” ujarnya seperti dikutip pada Kamis (6/11/2025).
Dia menyebut sejumlah jasa Soeharto. Mulai dari perang gerilya dalam Serangan Umum 1 Maret 1949 lalu program pembangunan terencana melalui Rencana Pembangunan Lima Tahun yang mendorong pertumbuhan ekonomi nasional.
Lainnya, Soeharto juga berhasil membawa bangsa ini swasembada beras pada dekade 1980-an. Kemudian program Keluarga Berencana (KB) yang mampu menekan laju pertumbuhan penduduk. Selain itu, stabilitas ekonomi, politik, dan keamanan yang terjaga selama masa pemerintahannya.
“Ketika kita menghargai jasa kepahlawanan seseorang. Jangan dilihat dari perbedaan politik atau kepentingan apapun, kecuali kepentingan bangsa dan negara, terlepas dari kekurangan dan kesalahan seseorang,” dia menjelaskan.
SETARA Institute Menolak
Namun, SETARA Institute melalui Ketua Dewan Nasional SETARA Institute, Hendardi menolak Presiden ke-2 Soeharto untuk mendapat gelar Pahlawan Nasional.
Hendardi dalam pernyataan persnya di Jakarta, Senin (27/10/2025) mengatakan, setelah Prabowo terpilih sebagai Presiden, sebulan sebelum pelantikan sebagai Presiden, Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) secara resmi mencabut nama Soeharto dari Ketetapan (TAP) MPR Nomor XI/MPR/1998 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN).
Pasal 4 TAP MPR 11/1998 tersebut berbunyi: “Upaya pemberantasan korupsi, kolusi, dan nepotisme harus dilakukan secara tegas terhadap siapapun juga, baik pejabat negara, mantan pejabat negara, keluarga, dan kroninya maupun pihak swasta/konglomerat termasuk mantan Presiden Soeharto dengan tetap memperhatikan prinsip praduga tak bersalah dan hak-hak, asasi manusia.”
Ia menjelaskan, sejak awal, pencabutan ini merupakan langkah yang salah karena mengabaikan fakta historis bahwa 32 tahun masa kepemimpinannya penuh dengan pelanggaran HAM, korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan.
“Fakta itulah yang mendorong gerakan Reformasi 1998. Maka, upaya elite politik dan penyelenggara negara untuk sebelumnya mencabut Pasal dalam TAP MPR Nomor XI/1998 yang menyebut Soeharto dan kini mengajukan Soeharto menjadi Pahlawan Nasional nyata-nyata mengalami amnesia politik dan sejarah serta mengkhianati amanat reformasi,” dia mengatakan.
Selain itu, dia menambahkan, jika nantinya Soeharto ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional, hal itu merupakan tindakan melawan hukum, terutama UU Nomor 20 Tahun 2009 tentang Gelar, Tanda Jasa dan Tanda Kehormatan.
“Menurut UU a quo, untuk mendapatkan gelar, tanda jasa, dan tanda kehormatan, seseorang harus memenuhi beberapa syarat,” tuturnya.
Pasal 24 UU dimaksud mengatur syarat umum sebagai berikut:
1) WNI atau seseorang yang berjuang di wilayah yang sekarang menjadi wilayah NKRI
2) Memiliki integritas moral dan keteladanan
3) Berjasa terhadap bangsa dan negara
4) Berkelakuan baik
5) Setia dan tidak mengkhianati bangsa dan negara; dan
6) Tidak pernah dipidana, minimal 5 (lima) tahun penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.
Mengacu pada undang-undang tersebut, Hendardi menyatakan, Soeharto tidak layak mendapatkan gelar pahlawan nasional. Dugaan pelanggaran HAM dan kejahatan terhadap kemanusiaan yang pernah terjadi pada masa pemerintahannya yang otoriter dan militeristik tidak dapat disangkal, meskipun juga tidak pernah diuji melalui proses peradilan.
Namun dalam hal tindak pidana korupsi, Soeharto bertanggungjawab atas tindak pidana korupsi. Mahkamah Agung melalui Putusan No. 140 PK/Pdt/2005 telah menyatakan bahwa Yayasan Supersemar milik Soeharto telah melakukan perbuatan melawan hukum dan wajib membayar uang sebesar US $ 315.002.183 dan Rp 139.438.536.678,56 kepada Pemerintah RI, atau sekitar Rp 4,4 triliun dengan kurs saat itu.
“Soeharto didakwa karena mengeluarkan sejumlah peraturan dan keputusan Presiden yang menguntungkan setidaknya tujuh yayasan yang dipimpin Soeharto dan kemudian dialirkan ke 13 perusahaan afiliasi keluarga serta kroni Cendana,” ia mengungkapkan.
Pendek kata, dia menyatakan bahwa Soeharto sebagai pahlawan nasional adalah tindakan yang salah dan melawan hukum negara. Jika hal itu tetap dilakukan oleh Presiden sebagai Kepala Negara, maka tidak salah anggapan bahwa Presiden Prabowo menerapkan absolutisme kekuasaan, yang dapat disederhanakan dalam ungkapan “Negara adalah aku” atau L’État, c’est moi seperti ungkapan Raja Louis XIV.(nor)












