Manado, INTANANEWS.ID
Di atas kertas, pihak lawan tampak di atas angin. Mereka memegang senjata yang dalam dunia hukum dianggap mematikan: Putusan Pengadilan yang berkekuatan hukum tetap (Inkracht). Narasi mereka sederhana namun angkuh: “Palu sudah diketuk, keputusan tak bisa diubah, Corner harus angkat kaki.”
Namun, benarkah hukum bekerja se-kaku itu? Apakah sebuah putusan pengadilan boleh membumihanguskan kebenaran nyata di lapangan berupa Sertifikat Hak Milik (SHM) yang sah?
Jawabannya: Tidak. Dalam kasus Corner 52, narasi “Putusan adalah Harga Mati” adalah kesesatan logika yang harus diluruskan. Berikut alasannya.
1. Putusan yang “Buta” vs Sertifikat yang “Melihat”
Kekuatan lawan hanyalah pada “Kebenaran Formil” (prosedur persidangan). Namun, pihak Corner memegang “Kebenaran Materiil” (Fakta Sebenarnya).
Sertifikat Hak Milik (SHM) yang dipegang Corner bukan kertas sembarangan. Ia adalah produk Tata Usaha Negara tertinggi dalam agraria. Jika putusan pengadilan perdata (sengketa lawan) memerintahkan eksekusi di atas tanah yang bersertifikat sah atas nama orang lain (Corner) yang tidak ditarik sebagai pihak dalam perkara awal, maka putusan itu mengalami Cacat Eksekusi atau Non-Executable.
Negara tidak mungkin memerintahkan dua hal yang bertentangan: Di satu sisi BPN menerbitkan sertifikat yang melindungi hak Corner, di sisi lain Pengadilan menyuruh rampas. Jika ini terjadi, maka Putusan Pengadilanlah yang harus “mengalah” demi ketertiban administrasi negara, bukan sebaliknya.
2. Jebakan “Error in Objecto”: Senjata Makan Tuan
Desakan lawan bahwa putusan tidak bisa diubah seringkali menutupi fakta bahwa objek tanahnya mungkin berbeda atau kabur (obscuur libel).
Kekuatan Corner ada pada Histori dan Penguasaan Fisik. Jika batas-batas dalam putusan lawan tidak sesuai dengan fakta fisik dan ukuran di Sertifikat Corner, maka eksekusi haram dilakukan. Memaksakan eksekusi pada objek yang salah bukanlah penegakan hukum, melainkan perampasan alias premanisme berjuah hukum. Inilah celah besar yang membuat putusan lawan, sekuat apa pun klaimnya, bisa menjadi lumpuh total di lapangan.
3. Perlawanan Pihak Ketiga (Derden Verzet): Jalan Keadilan yang Terbuka
Lawan boleh saja berteriak bahwa perkara sudah selesai. Tapi bagi Corner 52 sebagai pemilik sertifikat yang merasa haknya dilangkahi pintu Perlawanan Pihak Ketiga (Derden Verzet) terbuka lebar.
Hukum Indonesia mengakui bahwa putusan yang mengorbankan orang lain (pihak ketiga pemilik tanah sah) yang tidak ikut digugat, tidak boleh dieksekusi. Ini adalah prinsip keadilan universal. Jika lawan memaksakan eksekusi sementara Corner memegang sertifikat sah, maka lawan sedang melawan negara (BPN), bukan sekadar melawan warga.
Sertifikat Adalah Benteng Terakhir
Masyarakat dan penegak hukum harus jeli. Jangan sampai “Kesaktian Putusan” dijadikan kedok mafia tanah untuk melegitimasi perampasan lahan bersertifikat.
Jika sertifikat negara yang sah bisa dikalahkan oleh putusan pengadilan yang diragukan objeknya, untuk apa ada BPN? Untuk apa rakyat membayar pajak bumi?
Posisi Corner 52 saat ini adalah ujian bagi kewarasan hukum kita. Putusan pengadilan memang harus dihormati, tapi Keadilan dan Kebenaran Sertifikat Asli harus diletakkan di atas segalanya.
Pengadilan Negeri Manado akhirnya memilih menunda eksekusi lahan. Baca: Pengadilan Tunda Eksekusi Lahan.
Bagi mata awam, ini mungkin terlihat sebagai jeda prosedural. Namun, bagi Rio Walean, SE, pengamat yang mengikuti kasus ini secara intens, penundaan tersebut adalah “retakan” yang memperlihatkan adanya keraguan mendasar dalam klaim pihak pemohon eksekusi.












