Manado, INTANANEWS.ID
Dalam beberapa pekan terakhir, Bank SulutGo (BSG) menjadi sorotan publik menyusul laporan dugaan penyimpangan dana CSR senilai Rp40 miliar ke Kejati Sulawesi Utara yang diajukan oleh Kristianto Naftali Poae, Bendahara Pokdarkamtibmas Sulut. Tak hanya CSR, laporan itu melebar hingga tudingan pemotongan klaim kesehatan, kebocoran data nasabah, hingga suap terhadap insan pers.
Langkah hukum yang ditempuh Kristianto seolah menjadi peluru beruntun yang menyasar tubuh BSG, membentuk citra buruk institusi keuangan daerah yang selama ini menjadi andalan pembangunan daerah. Namun, di balik derasnya isu yang mencuat, sejumlah pertanyaan mulai bermunculan: apakah ini murni perjuangan antikorupsi, atau ada motif lain di balik layar?
Beberapa komentar netizen di media sosial mulai menyuarakan dugaan bahwa pelapor memiliki conflict of interest. Fakta bahwa istri dan kakak iparnya merupakan karyawan BSG, serta dirinya adalah notaris rekanan yang memiliki riwayat kredit bermasalah, mencuat sebagai informasi yang memicu keraguan atas motif pelaporan. Belum lagi dugaan belum dibayarnya honorarium notaris senilai Rp1,7 miliar sejak 2018, yang turut dimasukkan dalam rangkaian pengaduan.
“Kalau pelapor adalah mitra BSG dan punya masalah tagihan pribadi, lalu kenapa laporannya jadi kelihatan seperti kampanye menjatuhkan?” Komentar akun @roy.
“Bisa Jadi Ini Bukan Soal Korupsi, Tapi Soal Akses dan Kepentingan” Lanjut Netizen lainnya.
” PDI ato Gerindra ato Notaris?” Komen netizen lainnya di postingan Gurp Sulut Viral.
Pengamat Kepentingan Publik, Jeffrey Sorongan, melihat gelombang pemberitaan ini sebagai sebuah dinamika yang perlu dilihat dari dua sisi. Menurutnya, tidak salah masyarakat menyoroti dugaan korupsi, namun ketika pemberitaan didominasi satu narasumber dengan data yang belum diuji, publik patut bertanya: siapa yang diuntungkan?
“Sangat mungkin ini adalah bentuk tekanan untuk menyelesaikan perkara pribadi dengan mengangkatnya menjadi isu publik. Apalagi kalau dikaitkan dengan honorarium yang belum dibayar, yang sebenarnya masuk ranah perdata, bukan pidana korupsi,” ujar Jeffrey kepada Komentar.id.
Jeffrey juga mengingatkan pentingnya kehati-hatian media dalam mengelola informasi yang berpotensi merugikan nama baik pihak tertentu.
“Jangan sampai media tanpa sadar menjadi alat framing satu pihak, lalu menyudutkan institusi publik hanya karena konflik personal yang dibungkus semangat antikorupsi,” tegasnya.
Salah satu elemen yang menambah panas isu ini adalah tudingan bahwa pihak BSG, melalui salah satu pejabat berinisial HR, mencoba menyuap wartawan dengan mengirim uang via GoPay. Namun, bukti percakapan yang ditunjukkan, menurut pengamat media, belum cukup kuat untuk menyimpulkan adanya niat suap yang terstruktur.
“Kalau seseorang mengirim uang tanpa disepakati sebelumnya sebagai kompensasi pemberitaan, apalagi diklaim untuk sumbangan, maka intensi suap belum tentu dapat dibuktikan secara hukum,” ungkap Cinda pengamat media independen.
Cinta juga menyoroti perlunya wartawan bersikap netral dalam konflik yang melibatkan pihak yang saling berseteru secara hukum.
“Independensi wartawan diuji bukan saat memberitakan kejanggalan, tapi ketika informasi digunakan oleh satu pihak untuk membentuk opini publik yang berat sebelah,” tambahnya.
Kejaksaan Tinggi Sulut sejauh ini telah mengambil langkah awal dengan memeriksa satu direksi dan dua kepala divisi BSG. Namun publik juga menanti hasil objektif, bukan hanya respons terhadap tekanan opini publik. Sebab, jika penyelidikan dilakukan karena paksaan opini yang belum terbukti secara hukum, institusi penegak hukum bisa terseret dalam pusaran politik dan kepentingan pribadi.
“Semangat antikorupsi tetap harus dijaga, tapi jangan sampai publik digiring pada narasi tunggal. Ini soal uang rakyat, benar. Tapi siapa yang benar, itu harus diuji dengan fakta, bukan dengan framing,” tutup Jeffrey Sorongan.
Kristian Poae, yang sebelumnya dikenal sebagai mantan caleg dari PDIP iDapil Wenang-Wanea itu, kini menjadi sorotan setelah mempublikasikan dokumen Berita Acara Negosiasi antara Bank SulutGo dan Notaris Edmund Mangowal, termasuk angka nominal jasa notaris yang seharusnya bersifat rahasia.
Tindakan ini menuai gelombang kritik dari rekan-rekan seprofesi. Sejumlah notaris di Sulawesi Utara bahkan mendesak Majelis Kehormatan Notaris (MKN) dan Dewan Kehormatan Notaris (DKN) untuk mencabut izin profesi Poae karena dinilai melanggar Pasal 16 ayat (1) UU No. 2 Tahun 2014 tentang Jabatan Notaris, yang secara eksplisit menyatakan bahwa notaris wajib menjaga kerahasiaan isi akta dan segala informasi terkait jabatannya.
“Ini bukan hanya pelanggaran etika, tapi bentuk pembocoran rahasia jabatan yang mencoreng marwah profesi,” ujar seorang notaris senior di Manado.
(Kom/inid)