INTANANEWS.ID – Kasus intoleransi dan diskriminasi terhadap penganut agama leluhur atau penghayat kepercayaan di Indonesia masih menjadi sorotan serius dalam catatan demokrasi.
Guna membekali warga penghayat dengan kemampuan advokasi diri (swabela), sekitar 30 pemuda penghayat kepercayaan dari berbagai penjuru Nusantara mengikuti lokalatih paralegal di Hotel Ciputra Jakarta, pada 17-20 Juni 2025.
Pelatihan ini difasilitasi penuh oleh Direktorat Bina Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan Masyarakat Adat (Dit BKMA), serta didampingi tim aktivis Perhimpunan Pembela Masyarakat Adat Nusantara (PPMAN) Pusat.
Hadir dalam pembukaan Direktur BKMA, Sjamsul Hadi, S.H., M.M., dan Presidium Majelis Luhur Kepercayaan Indonesia (MLKI) Pusat, Iswan Sual, S.S.
“Tingginya kasus intoleransi dan diskriminasi ini mendorong urgensi pembekalan bagi penghayat agar mereka mampu melakukan swabela,” ujar Sjamsul Hadi dalam sambutannya.
Lokalatih ini membekali peserta dengan berbagai materi komprehensif, mulai dari kerangka hukum hak asasi manusia (HAM) dan kebebasan beragama dan berkeyakinan (KBB), mekanisme pemulihan melalui advokasi hak KBB, hingga penyusunan laporan pelanggaran hak KBB dan strategi lobi-negosiasi.
Beberapa narasumber yang terlibat antara lain Syamsul Alam Agus, Dr. Samsul Maarif, Fatiatulo Lazira, Nur Amalia, Gregorius B. Djako, dan Surti Handayani dari PPMAN Pusat.
Hari pertama lokalatih diawali dengan pemutaran film “Puanhayati: Threat Old Faith,” disusul diskusi mendalam tentang berbagai aspek hukum dan HAM terkait kepercayaan.
LAROMA, sebagai penyintas aksi pelanggaran KBB, turut diundang sebagai peserta, berbagi pengalaman advokasi yang telah dan sedang mereka jalankan.
Perwakilan penghayat dari Sulawesi Utara, seperti Masade (Sangihe) dan Adat Musi (Talaud), juga aktif berpartisipasi.
Pada hari keempat, para peserta mendapatkan kesempatan istimewa untuk mengunjungi gedung Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (MKRI).
Di sana, mereka tidak hanya menerima pemaparan mendalam terkait hukum konstitusi dari pihak MK, tetapi juga diajak menjelajahi perpustakaan sejarah konstitusi (Puskon).
“Kunjungan ke MKRI ini sangat penting untuk memberikan gambaran langsung tentang sistem hukum dan peran lembaga konstitusional dalam melindungi hak-hak warga negara, termasuk penghayat kepercayaan,” kata seorang peserta.
Usai dari gedung MK, peserta diarahkan untuk memantau kegiatan unjuk rasa Aksi Kamisan di depan Istana Negara, memberikan mereka perspektif langsung tentang dinamika advokasi di ranah publik.
Diharapkan, melalui lokalatih ini, para paralegal penghayat kepercayaan memiliki bekal yang cukup untuk memperjuangkan hak-hak mereka di berbagai tingkatan, termasuk jalur konstitusional.(nes)